Multiple Sclerosis atau Multipel Sklerosis (MS) adalah kelainan neurodegeneratif progresif, yang juga dapat melemahkan, dimana disebabkan oleh rusaknya sistem imun tubuh dan selubung myelin –penutup isolasi semua neuron/sel saraf– pada sistem saraf pusat (SSP) sehingga menjadi rusak akibat peradangan.
Sistem kekebalan tubuh menyerang myelin (zat lemak yang mengelilingi dan mengisolasi serabut saraf) ketika sel T melintasi sawar (perintang/pagar) darah otak untuk menyerang epitop (area tertentu pada molekul antigenik, dimana mengikat antibodi atau pencerap sel B maupun sel T) yang dipresentasikan oleh sel-sel myelin. Akibatnya, banyak ahli percaya bahwa MS lebih tepat disebut penyakit yang disebabkan mediasi-kekebalan daripada penyakit autoimun, karena target pastinya dari sel T dan penyebab perilaku mereka tetap tidak diketahui.
Serangan ini mengganggu dan secara progresif menghancurkan konduksi impuls saraf, yang menyebabkan jaringan parut serta kerusakan permanen pada selubung myelin maupun serabut saraf, juga mengakibatkan komplikasi neurodegeneratif yang parah, seperti gangguan penglihatan, gangguan panca indra, kehilangan keseimbangan, kehilangan kontrol atas otot sukarela, dan semua fungsi tubuh lainnya yang terhubung ke SSP. Tanda klasik MS adalah eksaserbasi atau flare-up yang terjadi berulang-ulang selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun dalam bentuk penyakit yang kambuh.
Periset terus mencari obat untuk MS. Pengobatan saat ini mengobati gejala dan eksaserbasi/kekambuhan, namun tidak menjamin efek jangka panjang.
Diagnosis yang tepat dan pemeriksaan menyeluruh dapat membantu dokter untuk mengetahui kemungkinan diagnosis MS, bersamaan dengan pemeriksaan MRI dan CSF untuk menunjukkan bekas luka atau plak khas di otak yang dianggap sebagai cara paling pasti untuk mengkonfirmasi multipel sklerosis. MS berpotensi menyebabkan kerusakan parah pada fase awal serangannya. Pengobatan yang lebih awal akan membantu pasien mengatasi kondisinya.
Karena kondisinya yang serius dan progresif, ada juga masalah stres emosional. Dokter telah mencatat, bahwa sangat penting bagi teman dan keluarga pasien MS memberikan dukungan sebanyak mungkin. Sangat penting, bahwa pasien MS mempertahankan gaya hidup sehat untuk mencegah kekambuhan tambahan.
Epidemiologi Multipel Sklerosis
MS menjangkiti 2 juta sampai 2,5 juta orang di seluruh dunia. Wanita lebih rentan menderita penyakit ini, dua atau tiga kali lebih sering dibandingkan pria. Umumnya menyerang orang-orang berusia antara 20 dan 50 tahun. Usia rata-rata terdiagnosis MS adalah 29 untuk wanita dan 31 untuk pria. Menurut data yang diberikan oleh National MS Society, diperkirakan 400.000 orang di AS menderita MS. Tapi ini hanya perkiraan, karena CDC tidak mewajibkan dokter di AS untuk melaporkan kasus baru MS, dan gejalanya juga tidak diucapkan pada tahap awal. Perkiraan prevalensi bervariasi antara 58 sampai 95 per 100.000 orang.
Dari hasil studi epidemiologi, perkiraan prevalensi orang dengan MS meningkat dengan garis lintang, menyiratkan bahwa orang yang hidup paling jauh dari khatulistiwa (seperti Eropa Utara) lebih rentan terhadap MS dibandingkan orang yang tinggal di dekat khatulistiwa. Namun, ada teori yang menentang teori ini. Bukti yang mendukung berasal dari fakta bahwa Parsis, Sardinian, dan Palestina lebih rentan terhadap multipel sklerosis daripada penduduk China, Jepang, dan Afrika. Migrasi juga memainkan peran kunci dalam menentukan kerentanan. Menurut penelitian independen, imigran yang pindah ke daerah berisiko tinggi, lebih rentan terkena MS. Selain yang paling umum terjadi pada ras kaukasian, orang Amerika Latin juga terbukti memiliki peluang tinggi untuk menderita MS.
Etiologi Multipel Sklerosis
Ada sejumlah hipotesis penyebab MS, namun penyebab pastinya belum ditemukan oleh peneliti. Faktor etiologi merupakan jaringan jender, etnis, dan keturunan yang kompleks, dengan penyakit menular dan faktor lingkungan juga berperan.
Di AS, orang umumnya memiliki peluang 0,1 persen untuk menderita MS. Tapi bagi seorang penyitas MS, anggota keluarganya dan semua hubungan keluarga tingkat pertama berisiko tinggi terkena penyakit ini. Saudara kandung, anak-anak, dan anak kembar non-identik dari orang ini berisiko 2% sampai 5% untuk menderita MS, sedangkan kembar identik (dengan set gen yang sama dengan pasien) memiliki kemungkinan 25% untuk menderita MS. Ini menyiratkan bahwa 75% sisanya dipengaruhi oleh geografis, etnisitas, dan faktor lingkungan lainnya. Jadi, orang dengan predisposisi genetik bereaksi terhadap faktor lingkungan spesifik yang memicu respons kekebalan terhadap SSP.
Teori lain mengacu pada polimorfisme dan efeknya dalam menghasilkan respons imun. Polimorfisme mengacu pada berbagai bentuk gen yang sama. Mereka menyebabkan pengkodean berbagai jumlah protein dan produk serupa. Polimorfisme nukleotida tunggal (SNP) mungkin ada pada gen yang bertanggung jawab atas respons imun (yang seharusnya merupakan gen predisposisi untuk MS) yang menyebabkan perubahan jumlah produk yang terbentuk yang mungkin sangat parah sehingga memicu kekebalan yang berlebihan. Respon terhadap antigen, menyebabkan sekresi sitokin pro-inflamasi. Hal ini dapat menyebabkan respons imun otomatis terhadap SSP. Penelitian telah berlangsung untuk menemukan hubungan genetik yang mendukung MS. Sejauh ini, gen HLA-DRB1 dari Antigen Leukosit Manusia (HLA) yang berada pada kromosom manusia 6 telah dikaitkan dengan peningkatan kerentanan terhadap MS. Melengkapinya, penelitian juga mengisyaratkan peran gen HLA-C*05, juga terletak pada kromosom yang sama, dalam memberikan perlindungan terhadap MS.
Paparan berbagai virus terjadi pada masa kanak-kanak. Salah satunya, virus Epstein-Barr (EBV), telah terbukti menyebabkan demyelinasi dan peradangan pada serabut saraf. Ada kemungkinan virus tersebut mengadopsi mimikri molekuler dan mengaktifkan kembali sel T yang ditargetkan melawan epitop virus mereka dengan yang ada di sarung myelin. Inilah sebabnya mengapa ada banyak sel T di penghalang otak darah.
Sekali lagi, ini hanya asumsi belaka, karena sejumlah agen infeksi lainnya telah diasumsikan memiliki dampak pada penyebab MS, dan EBV hanyalah salah satunya. Juga dapat dikatakan, bahwa hospes immunocompromised yang terkena infeksi virus ini lebih rentan terhadap kondisi dimediasi kekebalan tubuh seperti MS.
Pengamatan lain dari penelitian yang melibatkan kerentanan MS menunjukkan, bahwa imigran jika pindah ke daerah dengan kejadian lebih tinggi dari daerah berisiko rendah di kemudian hari, memiliki risiko pengembangan MS yang lebih rendah. Hanya pada masa kanak-kanak, sampai usia sekitar 15, apakah kerentanan terhadap MS secara langsung bergantung pada risiko yang terkait dengan area di mana seseorang tinggal.
Kekurangan vitamin D juga dikaitkan dengan peningkatan kerentanan terhadap MS. Vitamin D bertanggung jawab untuk menjaga keseimbangan antara sitokin pro dan anti inflamasi, dengan downregulation yang pertama dan upregulasi yang terakhir. Sinar matahari adalah penyedia penting vitamin D. Ini mungkin menjelaskan mengapa penduduk pada lintang yang lebih tinggi dengan tingkat sinar matahari yang rendah, lebih rentan terhadap pengembangan MS daripada mereka yang hidup di garis lintang rendah (lebih dekat ke khatulistiwa), dimana memiliki kadar vitamin D lebih stabil.
Merokok juga dikaitkan dengan peningkatan kerentanan terhadap MS. Perokok berisiko tinggi menderita MS, namun jika orang berhenti merokok bahkan setelah kejadian pertama serangan simtomatik, kemungkinan MS progresif mereka menurun.
Faktor-faktor yang diyakini bertanggung jawab atas pengembangan MS tampaknya saling terkait dan saling tergantung, yang membuka jalan bagi ambiguitas dalam menentukan peran independen masing-masing faktor.
(Disadur dari Multiple Sclerosis News Today)