MEMBERI KEKUATAN PADA DIRI SENDIRI, KEMUDIAN BERIKAN KEKUATAN PADA YANG TERKASIH

Penulis: Nia Damayanti Wirya

Saya percaya, bahwa manusia tidak akan diuji diluar batas kemampuannya. Manusia ditakdirkan menjadi makhluk Tuhan yang memiliki akal dan budi pekerti, memiliki insting untuk terus bertahan dalam kehidupan, dan terus bergerak dalam kehidupannya.

Saya bersyukur, kehidupan menguji saya dengan berbagai cara dan gaya, hingga limit saya terus bertambah. Sejak tujuh tahun terakhir, limit saya kembali diuji dengan kondisi suami saya yang kondisinya bagaikan roller-coaster, naik turun, hingga akhirnya stabil dititik rendah kesehatan dan kualitas hidup.

Sebagaimana yang selama ini saya lakukan, saya hanya mempertajam insting bertahan saya, menari dengan keadaan dan terus tersenyum pada kehidupan, agar kami dapat menyelami apa yang ada di depan kami. Ada saatnya kami bisa merencanakan kehidupan kami, ada saatnya tidak.

Saat melihat di tahun-tahun pertama suami saya mulai menyandang penyakit Autoimun yang sampai saat ini tidak dapat ditegakan diagnosanya, saya merasa bisa merawatnya sendiri. Lalu, apakah saya bisa merawatnya sendiri? Saya adalah orang terdekatnya dan mencintainya, saya yakin bisa merawatnya sendiri. Tapi ternyata TIDAK! Membagi waktu antara menjaganya di Rumah Sakit, rumah, dan kantor bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan. Saya sering terkagum-kagum dengan stamina dan kesabaran para perawat di rumah sakit.

Sementara saya, harus berjuang mempertahankan pekerjaan saya, karena jika sampai saya dipecat, maka pengobatan suami saya juga akan berhenti. Bukan hal yang mudah, awalnya kolega-kolega saya mengerti dengan kondisi saya, tapi ketika mulai mengganggu ritme kerja, kami tidak bisa mengharap mereka untuk terus menerus memahami kondisi saya, karena dalam dunia kerja kita dituntut untuk selalu profesional dalam kondisi apa pun.

Begitu pula di rumah, membesarkan dua remaja laki-laki dengan situasi ayahnya yang sangat terbatas, sangat tidak mudah. Aku akan bercerita soal ini diwaktu yang lain.

Check in dan check out rumah sakit adalah rutinitas kami. Ditambah dengan kondisi saya sebagai penderita asma dan alergi, menghabiskan malam-malam di rumah sakit adalah sebuah tantangan lain, AC yang temperaturnya sulit untuk dikendalikan, virus yang beterbangan. Asma dan sinusitis hampir selalu muncul. Tapi adrenalin saya untuk merawat kekasih saya, mampu melewati itu semua.

Lantas, apa yang saya lakukan, ketika semua itu terasa terlalu berat? Apa yang anda harus lakukan ketika anda berada dis ituasi yang menurut badan dan pikiran anda sulit dikendalikan?

Anda menangis — dan menangis saya lakukan.

Apa yang ada di depan saya adalah hal terakhir yang diingin oleh seorang perempuan/istri, mengorbankan kebutuhan diri sendiri, menjadi orang tua tunggal tapi tidak sendirian. Saya merasa bisa dan yakin akan bisa meliwati itu semua dengan mulus. Halusinasi? Iya, itu hanya halusinasi, tapi disaat yang bersamaan juga bukan. Kekuatan datang dari segala arah. Saat terjebak dalam kemacetan Jakarta, adalah salah satu saat terbaik bagi saya untuk merenungi semua ini. Satu-persatu persoalan dipilah, dan dipikirkan solusinya. Menerima bahwa tidak semua bisa diraih sesuai dengan yang diinginkan, akan memberikan limit yang lebih atas diri kita.

Bukan bermaksud menggurui, hal dibawah ini pun saya dapat dari pengalaman saya, sharing para pendamping (caregivers) penyintas/penyandang autoimun baik saat acara tatap muka ataupun melalui referensi artikel di internet. Kondisi suami saya tidak juga membaik tapi juga tidak memburuk, kami kembali dituntut untuk ber-evolusi atas keadaan yang ada. Disini kami mulai belajar:

  • Bersikaplah realistis atas kondisi yang ada. Stamina lebih saya butuhkan untuk meliwati jam-jam lembur setelah pekerjaan di kantor, akhir pekan tidak selalu menjadi akhir pekan pada umumnya. Berusaha rileks dengan situasi yang ada, saat ada kesempatan untuk menghibur diri, gunakan kesempatan tersebut. Realistis tidak hanya atas kondisi pasien tapi juga kondisi material kita sebagai pendamping. Tetapkan prioritas, bagi saya selain kondisi suami saya, pendidikan kedua putera kami adalah hal utama.
  • Memahami dan mengenal siklus penyakit pasien telah mambantu saya menghadapi masa-masa kritis.
  • Mendidik keluarga di rumah untuk dapat membantu kita merawat penyintas autoimun. Bahkan saat kita memiliki tenaga perawat di rumah pun, sebaiknya para penghuni rumah juga diberikan edukasi dalam menangani pasien.
  • Saat perawatan dirumah, kita juga diharapkan mampu menyediakan fasilitas yang dibutuhkan dan memperhatikan keamanan pasien saat di rumah. Apakah Anda cukup kuat untuk membantu mereka pindah atau menggunakan kamar kecil? Apakah Anda memiliki lantai licin atau tangga? Apakah Anda memiliki apa yang Anda butuhkan di rumah, karena beberapa pasien memerlukan pengawasan terus-menerus?
  • Sebisa mungkin perlakukan pasien sebagai manusia seutuhnya, membuat mereka tidak berdaya, tidak akan membantu mereka, jika pasien masih bisa melakukan beberapa aktivitas sendiri, biarkan mereka beraktivitas, kita hanya wajib memastikan bahwa mereka akan aman.
  • Jaga diri kita baik-baik. Bagaimana kita akan mengurus orang lain jika dirimu sendiri tidak terjaga. Mudah untuk mengatakan (menulis), tapi tidak mudah melakukannya, beban fisik dan mental sering saya alami atas situasi ini. Begitu pula yang dirasakan para pendamping (caregivers) yang lain. Kelelahan fisik dan mental. Menjaga kesehatan fisik dan mental adalah faktor utama. Jangan malu berkonsultasi pada psikolog atau psikiater sekalipun atas situasi yang anda alami.
  • Sebisa mungkin menjaga kehidupan sosial, mengalihkan sejenak perhatian kita atas pasien bukanlah dosa. Sampai saat ini pekerjaan dan lingkungan sosial saya mampu mengalihkan perhatian saya tanpa merasa bersalah pada suami saya.

Saya paham, bahwa banyak pasien yang situasinya lebih sulit dari yang kami alami dan saya yakin setiap pendamping memiliki cara masing-masing untuk bertahan. Otak dan tubuh manusia memiliki kemampuan yang luar biasa. Kebaikan keluarga, kawan, kolega adalah anugerah yang besar bagi saya. Adakalanya kita mengecewakan mereka, tapi itu bukan akhir dari segalanya dan saya meyakini akan ada kesempatan untuk memperbaikinya.

Kesempatan untuk merawat suami saya, terus memberikan harapan dan kebaikan bagi saya dan kedua putera kami. Ketika saya bertanya pada diri saya, dari mana saya mendapatkan semua kemampuan ini? Tidak lain adalah melalui doa, penerimaan, dan pemahaman akan kebutuhan saya sendiri dan suami saya/pasien. Dan tulisan ini bukan untuk menggurui, ini adalah bagian dari cara saya sebagai pendamping (caregiver) suami saya untuk menjaga kesehatan jiwa saya pribadi.

Tetap semangat untuk para pendamping pasien penyakit kronis, Gusti Allah mboten sare, begitu kata orang Jawa. Sebagaimana judul sebuah novel favorit kami berdua: Badai Pasti Berlalu.

One thought on “MEMBERI KEKUATAN PADA DIRI SENDIRI, KEMUDIAN BERIKAN KEKUATAN PADA YANG TERKASIH

  1. Artikel ini sangat menginspirasi saya sebagai seorang caregiver bagi anak saya yang menyandang MS.
    Terima kasih, Ibu Nia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.